Loading...
Selamat datang di GTT-PTT Kebumen
PAGUYUBAN GTT-PTT

PTT Tanpa Perlindungan Hukum, Hak Yang Terabaikan

Sabtu, 17 November 20120 komentar

Tidak adanya kepastian hukum bagi PTT di instansi pemerintahan membuat nasib PTT terabaikan hak-haknya. Berikut adalah artikel yang ditulis Wilham Murdianto, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum UIR. Sedikit saya edit untuk perjelas setiap isi perparagrafnya :

Pekerja di Swasta Vs Pekerja di Instansi Pemerintah
Kaget bukan kepalang, itulah yang penulis rasakan ketika membaca surat perjanjian kerja antara mereka yang disebut dengan tenaga harian lepas pada instansi pemerintahan dengan salah satu instansi pemerintah.

Di saat para buruh yang notabene bekerja di sektor swasta memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja, justru ternyata instansi pemerintah sebagai institusi publik diam-diam melakukan malpraktek yang mengebiri hak-hak pekerja di lingkungannya.

Dalam perjanjian kerja baku yang terpaksa ditandatangani oleh mereka yang disebut dengan tenaga harian lepas demi bertahan hidup, tenaga harian lepas tidak mempunyai hak  selain gaji yang jumlahnya sangat jauh dari standar  hidup layak.

Keilegalan PTT di Instansi Pemerintah Karena PP 48/2005
Pengangkatan tenaga harian lepas pada instansi pemerintah sebenarnya adalah illegal, karena tidak memiliki dasar hukum dan melanggar peraturan perundang-undangan.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menyebutkan, “Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

Ketentuan tersebut berlaku sebagai lex specialis (hukum khusus) yang mengenyampingkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kepegawaian (UU No  43/1999), y ang sebelumnya menjadi dasar hukum pengangkatan Pegawai Tidak Tetap (PTT).

Sampai saat  ini belum  ada PP  yang “menganulir” ketentuan dalam pasal 8 PP No 48/2005  tersebut.

Kalau memang pengangkatan PTT masih merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi berbagai instansi pemerintahan untuk menutup kekurangan jumlah pegawai dan beban kerja yang menumpuk, seharusnya pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) dan Presiden RI harus cepat tanggap soal ini, dengan segera mengeluarkan payung hukum berupa PP tentang PTT.

Pemerintah Tutup Mata
Bukan malah justru “tutup mata” dengan membiarkan instansi-instansi pemerintahan melakukan pelanggaran aturan secara terang-terangan.

Hal itu tentu akan semakin menambah preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana rakyat bisa patuh terhadap hukum, sementara pemerintah sendiri yang seharusnya menjadi teladan, terang-terangan tanpa merasa bersalah melanggar hukum.

Tahun 2011 yang lalu Menteri PAN dan RB,  EE Mangindaan, mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan rancangan PP PTT, bahkan telah menyosialisaikannya, untuk menjamin posisi PTT yang direkrut oleh kementrian dan lembaga pasca diterbitkannya PP 48/2005.

Kala itu sang menteri juga mengatakan bahwa PTT  nantinya setelah pensiun akan tetap mendapat honor dan asuransi kesehatan (Askes) hari tua.

Tidak seperti sekarang, jangankan Askes di hari tua yang notabene sudah tidak bekerja, di saat masih bekerja saja tidak memperoleh Askes. Namun janji tinggal janji, hidup layak hanya mimpi.

Janji untuk menerbitkan PP tersebut pertengahan tahun 2012 ini telah terlewati, bahkan tahun 2012 sudah hampir berakhir pula.

Sangat wajar dipertanyakan komitmen pemerintah dalam penghormatan, perlindungan, dan pelaksanaan terhadap Hak Asasi  Manusia (HAM) yang di amanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pasal 28 D ayat (1) tentang Hak Atas Pengakuan,  Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil.

Bagaimana tidak, sejak diakuinya PTT secara resmi dalam UU No 43/1999 tentang Perubahan Atas UU No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tidak kunjung ada PP pelaksana yang menindaklanjuti pasal 2 ayat (3) UU No 43/1999 yang memberikan kewenangan pengangkatan PTT tersebut.

Namun, pengangkatan PTT tetap berlangsung, bahkan jauh sebelum adanya UU No 43/1999, pengangkatan PTT dalam jumlah massal pun telah terjadi.

Beruntung bagi mereka yang diangkat sebagai PTT menjelang lahirnya PP No 48/2005, karena melalui PP tersebut mereka mendapat jaminan hukum untuk diangkat menjadi CPNS secara berkala. Malang bagi mereka yang diangkat pasca keluarnya PP No  48/2005, karena sama sekali tidak memperoleh perlindungan hukum.

Perbudakan Modern
Kesalahan atas modern slavery (perbudakan modern) terhadap mereka yang disebut dengan tenaga harian lepas pada instansi pemerintah tersebut bukanlah semata-mata berada pada presiden yang tidak segera mengeluarkan payung hukum bagi PTT pasca PP No 48/2005.
Kalaulah berbagai instansi atau lembaga pemerintahan bijak, mereka bisa menggunakan  UU Ketenagakerjaan No 13/2003 dan berbagai peraturan pelaksananya sebagai panduan.

Apalagi istilah tenaga harian lepas tersebut nampaknya diambil dari dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No 100/2004 tentang ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),  yang notabene merupakan salah satu peraturan pelaksana dari UU Ketenagakerjaan No 13/2003.

Namun, sangat disayangkan, pengambilan istilah tenaga harian lepas dalam Kepmenakertrans tersebut tidak dibarengi dengan kepatuhan terhadap segala ketentuan menyangkut  tenaga harian lepas.

Hak-hak Yang Terabaikan

Alih-alih menggunakan UU Ketenagakerjaan sebagai pedoman, justru banyak ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan yang dilanggar dalam malpraktek pengangkatan tenaga harian lepas pada instansi pemerintah, antara lain:

1. Tidak dipenuhinya syarat minimal dari suatu perjanjian kerja. 
Besarnya upah dan cara pembayarannya sebagai salah satu hal yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian kerja, namun dalam surat-surat perjanjian kerja yang penulis dapat, itu tidak dicantumkan.Dalam perjanjian kerja tersebut hanya disebutkan bahwa tenaga harian lepas berhak menerima gaji sesuai dengan anggaran yang tersedia.

2. Tidak ada kepastian hukum
Tidak adanya kepastian hokum sehingga tidak ada perlindungan hukum bagi tenaga harian lepas pada instansi pemerintahan tersebut.Dalam pelaksanaannya, gaji tersebut pun acap dibayarkan terlambat sampai beberapa bulan, tidak selalu setiap bulan sebagaimana layaknya seorang pekerja.

3. Tidak Adanya Jamsostek
Selain gaji yang tidak menentu tersebut, tidak ada lagi hak lain bagi mereka. Padahal selain gaji yang harus memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, UU Ketenagakerjaan juga mengamanatkan bahwa setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

4. Tidak Adanya Pesangon
Tak kalah fatal lagi, dalam perjanjian tersebut juga disebutkan bahwa tenaga harian lepas tidak berhak atas pesangon jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dapat dilakukan pemerintah kapan pun secara sepihak, padahal pembayaran pesangon merupakan kewajiban.

5. Begitu pun terhadap Kepmenakertrans No 100/2004, lagi-lagi instansi-instansi pemerintah menabrak aturan PKWT tenaga harian lepas tersebut. Sesuai UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans No 100/2004, PKWT hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan  yang jenis dan sifatnya akan selesai dalam waktu tertentu.PKWT tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tetapi nyatanya bukan pihak swasta yang notabene berorientasi pada profit saja yang melakukan PKWT terhadap pekerjaan tetap, melainkan pemerintah sebagai institusi publik juga ikut melanggar secara terang-terangan.Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya tenaga harian lepas di berbagai bidang pemerintahan yang jelas-jelas merupakan pekerjaan pokok dan bersifat permanen, seperti guru, tenaga kesehatan, dan lain sebagainya.

6. Selanjutnya ditentukankan bahwa PKWT hanya boleh paling lama untuk jangka waktu dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk masa paling lama satu tahun, kemudian selain itu PKWT dapat di perbaharui untuk masa paling lama dua tahun, artinya PKWT paling maksimal hanya diperbolehkan untuk jangka waktu lima tahun kerja. Jika lewat dari lima tahun masih dipekerjakan, maka pekerja yang bersangkutan harus diangkat menjadi karyawan tetap.

7.  Kemudian, pasal 10 ayat (2) Kepmenakertrans No 100/2004 menegaskan, perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam sebulan.Jika bekerja lebih dari itu selama 3 bulan berturut-turut, maka otomatis akan menjadi pekerja tetap. Ketentuan ini dengan terang-terangan juga dilanggar. Tenaga harian lepas pemerintah bekerja setiap hari kerja sebagaimana layaknya PNS, dengan beban pekerjaan yang terkadang justru melebihi PNS.


Apakah logis melakukan pekerjaan yang sama, bahkan lebih, memiliki kemampuan yang sama, bahkan juga lebih, namun mendapat penghasilan lebih rendah?

8. Lagi-lagi pasal mengenai HAM dalam UUD 1945 dilanggar, yakni pasal 28 d ayat (2) yang mengamanatkan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang  adil dan layak dalam  hubungan kerja.


Akhirnya, walaupun sudah terlambat, PTT, honorer, tenaga harian lepas, atau apapun sebutan bagi mereka (karena sebutan tidak penting bagi mereka, yang penting bagi mereka adalah hidup layak sebagai manusia), tentu sangat berharap segera ada perlindungan hukum terhadap mereka.

Bila harapan ini tidak jua kunjung diwujudkan pemerintah, ada baiknya para PTT dengan berbagai sebutannya segera berpikir dan bergerak untuk melakukan “perlawanan” secara konstitusional, karena tidak selamanya diam itu emas.

Sesungguhnya keberanian tidak akan mengurangi rezeki, begitupun juga sikap pengecut tidak akan menambah rezeki, itu sudah terbukti. Tunduk tertindas atau bangkit melawan?

Wilham Murdianto, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum UIR. (17 Nopember 2012)
Suka Artikel Ini? :

Posting Komentar

 
Support : Maskolis | Blog Template
Copyright © 2012. GTT PTT KEBUMEN - All Rights Reserved
Template Editing by GTT-PTT Published by Blog Template
Proudly powered by Blogger
| Welcome to GTT-PTT Kebumen, Central Java, Indonesia |